Oleh: M Hafiz Al Habsy, S.Ap (Alumnus Ilmu Administrasi Negara-UNP / Co-Founder Hatta Aksara Project)
Sumbarpress – Banyak dari kita merespon secara emosional kejadian Rantis Brimop yang melindas Driver Ojek Online pada tanggal 28 Agustus lalu. Imbasnya, Polri menerima begitu banyak sentiment negatif di media sosial yang umumnya menggunakan tagar #PolisiPembunuh, memang sudah seharusnya dan sepantasnya seperti itu!
Tapi satu hal yang perlu untuk dibahas sebagai sebuah bahan refleksi bersama bahwa kejadian itu bukanlah inti permasalahan yang sesungguhnya. Kita perlu melihat secara lebih jernih dan mendalam lagi bagaimana fenomena hari itu berujung pada hilangnya nyawa seorang Driver Ojol. Peristiwa ini sebenarnya efek dari kesalahan kolektif kita dalam menjalankan sistem ketatanegaraan.
Politik Makan Korban Jiwa
Pertama, dalam situasi chaos tentu sulit bagi siapapun menggunakan logika dan hati dalam mengambil keputusan. Sekilas dari vidio yang beredar kita melihat setelah menabrak, Rantis Brimop berhenti sejenak dan lanjut kembali melindas saat kerumunan massa aksi menghampiri Rantis Brimop.
Kondisi terancam menjadi alasan kenapa kemudian Rantis Brimop saat itu memilih untuk melindas driver ojek online tersebut. Tapi bagaimanapun kronologis sebenarnya, tentu keadilan terhadap korban menjadi harga mati, tidak ada harga yang sepadan untuk sebuah nyawa.
Kedua, driver Ojek Online itu bukan sekedar korban kebrutalan Brimop, tapi ia adalah korban politik. Jika peristiwa itu adalah kecelakaan ataupun pembunuhan, tragedi itu bukanlah sekedar kecelakaan atau pembunuhan biasa. Tapi itu semua merupakan runtutan dari kekacauan yang ditimbulkan oleh kebijakan dan sikap politik para anggota DPR.
Terlebih lagi sikap ngeyel DPR terhadap keputusannya yang secara jelas ditolak masyarakat, namun masih saja dipaksakan. Bahkan protes dan kritik masyarakat justru diolok-olok dan dikerdilkan, salah satunya statement dari Ahmad Syahroni yang membalas dengan kata “Tolol” dan “Brengsek” menjadi pemicu utama kemarahan publik.
Kemarahan publik jelas muncul dari kebijakan dan sikap politik anggota DPR. Dan sangat jelas bahwa ini merupakan awal dari seluruh rangkaian buruk dan duka di hari itu. Jika kita sederhanakan, apabila statement tak pantas dari beberapa anggota DPR tidak terucap, mungkin kemarahan publik tidak akan memuncak hingga terjadi pembakaran dan penjarahan.
Terlebih lagi apabila kebijakan soal gaji dan tunjangan yang tinggi tidak diambil oleh DPR, makin dapat dipastikan kalau kemarahan publik tidak akan memuncak pada hari itu. Dengan begitu tentu tidak akan terjadi chaos yang terjadi, namun apa boleh buat nasi sudah jadi bubur.
Karena itu, penulis ingin membahas lebih jauh lagi bagaimana kemudian kejadian-kejadian itu muncul sebagai sebuah akibat dari kesalahan kita dalam memaknai dan menjalankan sistem bernegara di Republik ini. Peristiwa Rantis melindas driver ojek online beserta runtutan persitiwa selanjutnya seperti pembakaran gedung pemerintahan dan penjarahan sebenarnya bermula dari miskonsepsi.
Miskonsepsi Demokrasi Indonesia
Kondisi tersebut sebenarnya sudah berulang kali terjadi di Indonesia belakangan ini, mulai dari isu pelemahan KPK tahun 2019, UU Ciptakerja 2020, Revisi UU Desa 2023, dan banyak contoh lainnya. Hanya saja hari ini isu tunjangan rumah anggota DPR menemui sebuah titik klimaks dimana rakyat sudah merasa dihina bahkan dibunuh sehingga tindakan kemarahan publik yang berujung anarkis tak terelakkan lagi.
Semua itu terjadi hanya karena miskonsepsi soal demokrasi Indonesia yang secara jelas sudah tertuang pada Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi “kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pada dasarnya kedaulatan tidak pernah dititipkan baik kepada legislatif maupun eksekutif, kedaulatan tetap berada di tangan rakyat, yang dititipkan pada wakil rakyat saat Pemilu hanyalah kepentingan rakyat itu sendiri.
Namun sepertinya kebanyakan kita (terutama anggota DPR) gagal paham dalam pemaknaannya, sikap anggota DPR yang tidak kunjung mengindahkan suara rakyat adalah buktinya. Kedaulatan adalah hak untuk mengatur dan mengontrol jalannya sebuah negara, dan itu berada di tangan rakyat. Sederhana saja, kedaulatan itu semestinya muncul dalam bentuk kepentingan dan keinginan rakyat yang diakomodir oleh wakil rakyat.
Tapi apa boleh buat, kita sudah salah kaprah dalam memaknainya. Seolah-olah disaat Pemilu kedaulatan itu sudah diserahkan sepenuhnya kepada wakil rakyat sehingga negara ini mengarah pada negara kekuasaan. Padahal dalam lanjutannya pada Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 jelas dikatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Akar Masalah
Solusinya cukup sederhana, pemerintah sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat seharusnya mengakomodir kepentingan rakyat. Namun persoalan mewujudkan itu bukanlah sebuah persoalan sederhana, bahkan masalahnya sangat kompleks. Langkah pertama adalah memastikan mereka yang memegang mandat rakyat adalah mereka yang benar-benar paham konsep dasar ketatanegaraan Indonesia dan mampu menjalankannya.
Kemudian untuk mewujudkan itu, tidak lain adalah tanggung jawab kita seluruh rakyat Indonesia. Hal ini mesti berawal dari supply dan demand politik, bagaimana tolak ukur kita dalam menentukan pilihan saat pemilu. Memang ada asas bebas dalam pemilihan umum yang menjamin hak kita, namun lagi-lagi kita mesti paham konsep.
Ketika memilih anggota DPR misalnya, tidak ada yang bisa melarang ketika kita memilih berdasarkan wajah tampan, hebat menyanyi, pun mungkin karena jogetannya. Pertanyaannya apakah saat Pemilu kita sedang memilih untuk mencari bakat artis? Tentu bukan, sudah semestinya tolak ukur kita adalah gagasan dan kompetensi mereka sebagai wakil rakyat yang mampu mewujudkan kepentingan rakyat.
Kemudian akan lebih bahaya lagi apabila tolak ukurnya adalah uang, sudah menjadi hal lumrah kita temukan dalam Pemilu kita. Pada akhirnya, kita sudah melihat secara nyata bagaimana kemudian sikap politik yang kita anggap sederhana berimbas pada hilangnya nyawa rakyat, ketidakstabilan politik nasional, dan ketegangan sosial.
Cukup peristiwa ini menjadi pelajaran dan bahan refleksi bagi kita bangsa Indonesia untuk berbenah lebih baik kedepannya. Peristiwa besar yang terjadi ini tidak lain muncul dari sikap kita yang mengkhianati prinsip-prinsip paling dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik ini. Oleh sebab itu, peristiwa ini mestilah menjadi pengingat bagi kita kedepannya bahwa setiap sikap dari setiap warga negara akan menentukan kondisi Republik yang kita cintai ini!