Home / Opini / Demokrasi yang Terguncang, Integrasi Bangsa yang Terancam

Demokrasi yang Terguncang, Integrasi Bangsa yang Terancam

Oleh: Ihsan Demouza (Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Andalas/100 Ketua Osis Terbaik Tahun 2024 Versi Indonesian Students Leadership Training Hatta Aksara Project)

Sumbarpress – Indonesia kini berada dalam pusaran politik yang penuh gejolak. Demonstrasi besar-besaran mengguncang Jakarta dan sejumlah kota lain, dipicu oleh revisi Undang-Undang TNI, tunjangan mewah anggota parlemen, hingga kasus kekerasan aparat terhadap warga sipil.

Apa yang terlihat di jalan-jalan bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan peringatan serius bahwa demokrasi kita tengah menghadapi ujian berat. Lebih jauh, krisis ini juga mengancam integrasi nasional yang sejak lama menjadi fondasi persatuan bangsa.

Sejak disahkannya revisi UU TNI pada Maret 2025, publik semakin khawatir bahwa militer kembali memasuki ranah sipil secara berlebihan. Perluasan wewenang hingga ke 14 kementerian dianggap menghidupkan kembali doktrin “dwifungsi” ala Orde Baru. Bagi masyarakat sipil, hal ini jelas merupakan langkah mundur yang berpotensi mengekang ruang demokrasi.

Demokrasi yang sehat mensyaratkan adanya kontrol sipil terhadap militer, bukan sebaliknya. Jika keseimbangan ini hilang, maka kepercayaan publik terhadap negara bisa runtuh. Rakyat yang merasa kehilangan hak politiknya berisiko terdorong pada sikap apatis, bahkan disintegratif.

Kemarahan itu kemudian menemukan jalannya di jalan-jalan. Gelombang demonstrasi meluas, dari aksi simbolik beberapa aktivis yang menerobos rapat revisi UU TNI di hotel mewah, hingga ribuan perempuan turun dengan sapu sebagai simbol “membersihkan korupsi dan kekerasan”. Kematian seorang pengemudi ojek online akibat kendaraan taktis polisi menambah bara kemarahan publik.

Semua itu menunjukkan bahwa rakyat menuntut bukan hanya keadilan ekonomi, tetapi juga martabat dan hak dasar mereka sebagai warga negara. Integrasi nasional hanya mungkin terjaga bila negara hadir secara adil dan transparan. Ketika negara justru terlihat berpihak pada elit, kepercayaan publik melemah dan persatuan bangsa pun terguncang.

Integrasi nasional bukanlah konsep abstrak yang hidup di ruang hampa. Ia nyata, ia hadir ketika bangsa ini mampu tetap bersatu dalam keragaman. Namun persatuan itu sangat rapuh jika demokrasi tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Konflik horizontal, sikap etnosentris, bahkan tuntutan separatisme seringkali berakar pada ketidakadilan pusat terhadap daerah.

Contoh nyata muncul di Pati, Jawa Tengah, ketika masyarakat marah akibat kenaikan pajak daerah yang drastis. Mereka merasa dikesampingkan dan diperlakukan tidak adil. Jika gejolak seperti ini terus dibiarkan tanpa respons bijak, maka ancaman disintegrasi bisa semakin nyata.

Ketimpangan sosial-ekonomi semakin memperparah situasi. Jurang antara fasilitas mewah pejabat dengan penderitaan rakyat menjadi bahan bakar utama demonstrasi. Anggota DPR yang menerima tunjangan rumah hingga Rp50 juta per bulan dianggap mencerminkan betapa jauhnya elit dari realitas rakyat kecil.

Pada saat yang sama, harga kebutuhan pokok melambung dan pajak daerah menekan ekonomi masyarakat. Situasi ini mengingatkan pada pelajaran pahit Reformasi 1998: ketidakadilan sosial adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Integrasi nasional mustahil kokoh jika mayoritas rakyat merasa terpinggirkan dari keadilan ekonomi.

Kekerasan aparat hanya menambah luka. Dari gas air mata hingga peluru karet, semua itu menorehkan trauma dan erosi kepercayaan. Banyak korban berjatuhan, termasuk anak-anak dan mahasiswa. Dalam kerangka integrasi nasional, kekerasan ini berbahaya karena merusak hubungan fundamental antara rakyat dan negara. Negara seharusnya hadir sebagai pelindung, bukan ancaman. Jika aparat tidak segera dievaluasi, citra negara sebagai pengayom rakyat akan hilang, menyisakan ruang kosong yang terisi oleh rasa tidak percaya.

Yang sedang dipertaruhkan Indonesia hari ini bukan hanya kredibilitas pemerintahan, melainkan juga masa depan persatuan bangsa. Demokrasi yang sehat adalah fondasi integrasi nasional. Tanpa demokrasi yang menjamin hak-hak rakyat, persatuan hanya akan menjadi slogan kosong.

Karena itu, langkah-langkah perbaikan harus segera ditempuh: membatasi peran militer hanya pada ranah pertahanan, mereformasi tunjangan pejabat agar proporsional dengan kondisi rakyat, membuka ruang dialog dengan masyarakat sipil dan aktivis, serta menghentikan kekerasan aparat dengan menegakkan hukum bagi setiap pelanggaran HAM.

Demokrasi yang sehat bukan sekadar instrumen politik, melainkan fondasi moral bagi bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Ia adalah syarat agar rakyat tetap merasa bagian dari satu rumah besar bernama Nusantara. Jika demokrasi kembali ke relnya—dengan membatasi kekuasaan, merawat keadilan, dan menghentikan kekerasan—integrasi nasional akan kembali kokoh. Indonesia akan tetap utuh, bukan karena dipaksa, melainkan karena rakyat percaya bahwa negara ini adalah milik mereka bersama.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *