Oleh: Firman, S.Pd., M.Pd., H.C (Ketua Koperasi Pemuda Indonesia Wilayah Sumatera Barat/Ketua BKPK DEKOPIN Wilayah Sumatera Barat)
Sumbarpress – Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bung Hatta menegaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah koperasi. Maka koperasi sejatinya bukan hanya pelengkap sistem ekonomi nasional, melainkan fondasi utamanya.
Dalam semangat itu, hadirnya Instruksi Presiden No 9 Tahun 2025 tentang percepatan pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP) menjadi momentum penting. Presiden Prabowo Subianto ingin mengembalikan koperasi ke tempat terhormat sebagai soko guru ekonomi rakyat.
Namun seperti banyak kebijakan top down lainnya, program KDMP membawa dua wajah: harapan baru, namun juga potensi masalah struktural. Sumatera Barat sebagai kampung halaman Bung Hatta—Bapak Koperasi Indonesia—telah membentuk 1.265 KDMP, menjadikannya provinsi tercepat di luar Jawa dalam merealisasikan amanah ini.
Meski membanggakan dari sisi administratif, capaian ini belum tentu berdampak secara sosial dan ekonomi. Banyak hal mendasar belum disiapkan. Pendirian koperasi yang serba cepat mengabaikan pentingnya pembangunan ekosistem dan kapasitas SDM yang menjadi tulang punggung koperasi itu sendiri.
Kapasitas SDM Pengurus dan Pengawas
Koperasi bukan hanya soal niat baik, tapi juga soal kapasitas. Tata kelola koperasi menuntut kemampuan mengelola dua entitas sekaligus: lembaga (organisasi) dan bisnis (usaha). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pengurus dan pengawas KDMP yang dipilih lewat musyawarah desa belum memiliki pengalaman dan pemahaman yang cukup dalam perkoperasian.
Dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh Hatta Aksara Project bersama Dinas Koperasi UKM Sumbar (29 Juni 2025), para Wali Nagari dan Kepala Desa mengungkapkan kekhawatiran tentang lemahnya kapasitas SDM ini. Bila dibiarkan, hal ini berisiko menjadikan koperasi hanya sekadar papan nama tanpa aktivitas ekonomi yang nyata.
Krisis Jati Diri Koperasi
Koperasi bukan sekadar lembaga usaha rakyat. Ia adalah gerakan yang dibangun atas dasar nilai dan prinsip. Sejak Kongres ICA 1995 di Inggris, koperasi global telah menyepakati tujuh prinsip yang wajib dipegang teguh: mulai dari keanggotaan sukarela, pengelolaan demokratis, hingga kemandirian dan pendidikan koperasi.
Sayangnya, pendekatan top down dalam pembentukan KDMP berisiko menggerus nilai-nilai ini. Keanggotaan yang dibatasi wilayah, pembentukan yang dipaksakan secara nasional, hingga pengurus yang ditunjuk tanpa proses kaderisasi, menimbulkan tanda tanya besar terhadap komitmen jangka panjang terhadap prinsip koperasi. KDMP rentan berubah menjadi BUMDes baru yang dibungkus nama koperasi.
Skema Permodalan yang Belum Jelas
Permasalahan berikutnya terletak pada belum jelasnya skema pembiayaan. Pemerintah sempat menyampaikan akan menggelontorkan bantuan dana hingga 5 miliar rupiah per koperasi. Namun belakangan berubah menjadi pinjaman bergulir maksimal 3 miliar, sebagaimana diatur dalam Permenkop No 1 Tahun 2025. Itu pun hanya berlaku untuk koperasi percontohan (mock up) yang memenuhi kriteria tertentu.
Ketiadaan regulasi eksplisit untuk seluruh KDMP yang sudah berbadan hukum menimbulkan spekulasi dan ketidakpastian. Wali nagari dan kepala desa khawatir dengan posisi mereka sebagai ex-officio Ketua Pengawas KDMP. Jika terjadi kasus hukum terkait pinjaman, bisa jadi mereka ikut terseret secara hukum.
Dari 1.265 KDMP di Sumbar, terlihat ada dua realitas yang saling bersinggungan: Fakta bahwa para kepala desa/nagari kini memikul tanggung jawab tambahan dengan segala risikonya. Jika koperasi gagal atau bermasalah secara hukum, mereka bisa terseret.
Namun di sisi lain ada harapan yang sedang tumbuh—dari anggota koperasi, pengurus muda, hingga masyarakat desa—bahwa koperasi bisa menjadi solusi ekonomi: memberikan akses harga barang dan jasa yang adil, kepemilikan bersama, hingga usaha bersama yang menyejahterakan.
Dua realitas ini menempatkan kita dalam dilema antara optimisme dan kehati-hatian. Koperasi bisa menjadi cahaya di tengah kesenjangan ekonomi desa, namun bisa juga menjadi bumerang jika tidak dikelola dengan hati-hati.
Sebagai anak muda yang tumbuh dari proses kaderisasi koperasi di kampus, di pemuda, dan masyarakat prasejahtera, saya percaya koperasi tetap relevan. Saya juga menyadari bahwa program KDMP meski problematik, tetap akan dijalankan. Maka pertanyaannya bukan lagi “setuju atau tidak”, tapi: apa yang bisa kita lakukan?
Di dalam koperasi: menjadi pengurus, pengawas, anggota aktif, atau pengelola. Di luar koperasi: sebagai pendamping, pengawas moral, pelatih, penulis, atau penyambung aspirasi anggota. Koperasi hanya akan hidup jika dijalankan dengan nilai dan semangat. Bukan sekadar instruksi pemerintah, tapi menjadi gerakan bersama. Kritik itu penting, tapi jauh lebih penting adalah keterlibatan nyata. Karena koperasi bukan hanya tentang ekonomi, tapi tentang keadilan, gotong royong, dan masa depan bersama.